Pesan Pluralisme dari Arab Saudi
- Ellen Nugroho
- Aug 2, 2016
- 2 min read

Ada yang pecinya bertuliskan “Gus Dur”. Ada yang disalami dengan panggilan “Romo”. Ada yang berjubah biksu. Ada yang berseragam susteran. Ada yang bersorban-gamis ala Timur Tengah. Ada yang berkebaya. Ada yang berjilbab. Ada pula yang pakai rok mini. Segala macam pribadi dengan tampilan ragam agama, etnis, dan budaya ternyata begitu cair saling membaur di pertemuan Senin (1/8) malam di kantor Indonesian Conference on Religion and Peace, di Jalan Cempaka Putih Barat XXI No. 34 Jakarta Pusat.
Selain syukuran ulang tahun ICRP, malam itu ada acara istimewa diskusi publik bertajuk: “Pluralisme dan Hubungan Antaragama di Arab Teluk dan Indonesia”. Pematerinya adalah Sumanto Al Qurtuby, sarjana lulusan Boston University Amerika Serikat yang kini menjadi profesor antropologi dan sosiologi dari King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi. Di dunia kajian Islam dan pluralisme Nusantara, Sumanto Al Qurtuby adalah penulis yang produktif, dengan gaya menulisnya yang tajam, menohok, tapi segar. Judul bukunya antara lain “Islam, Arab, dan Indonesia”, “Jihad Melawan Ekstremisme Agama”, serta “Lubang Hitam Agama”.
Paparan Sumanto malam itu ringan. Bukan membahas konsep-konsep atau teori-teori yang njelimet-rumit, tapi lebih ke berbagi cerita dan anekdot pengamatannya tentang hidup sehari-hari warga Saudi, dan perbandingannya dengan orang Indonesia yang “ingin jadi kesaudi-saudian”. Meskipun Wahabi adalah kelompok mayoritas di Saudi, spektrum keyakinannya pun beragam. Ada Wahabi yang ekstrem, ada pula Wahabi yang liberal.
Sumanto bercerita tentang sebagian besar warga Saudi saat ini yang bergaya hidup modern dan menafsir agama secara luwes. Kalaupun menjalankan suatu perintah agama, mereka menerapkannya untuk diri sendiri dan tidak berusaha memaksa orang lain melakukan yang sama dengan dirinya. Yang memelihara jenggot tidak mempersoalkan mereka yang tidak berjenggot. Orang-orang tua yang bergamis tak mempersoalkan anak-anak muda yang pakai jeans atau kemeja. Yang anti-pelesir tak mempersoalkan sesamanya yang berduyun-duyun ke Bahrain setiap akhir pekan. Kaum lelaki urban pun tak lagi keberatan pada perempuan yang menyetir mobil.
“Kepada para mahasiswa di sana justru saya ingatkan agar jangan meninggalkan gamis, sebab itu adalah tradisi berpakaian dari budaya mereka sendiri. Gamis itu ada banyak jenisnya, berbeda-beda di tiap suku. Sayang kalau sampai tergusur oleh pakaian Barat. Tapi di Indonesia, saya akan beri saran lain. Kita pun harus memelihara tradisi kita sendiri, jangan tergusur oleh budaya Arab. Aneh kan, warga Saudi makin kebarat-baratan, sementara orang kita jadi kesaudi-saudian.” Seloroh Sumanto ini langsung disambut gerrrr ... tawa geli hadirin.
Intinya, terlalu dangkal jika kita mengidentikkan Islam dengan budaya Arab. Menjadi orang Islam bukan berarti harus menjadi orang Arab. Hakikat Islam itu universal dan bisa dikontekstualisasikan ke budaya tiap-tiap bangsa. Memahami betul hakikat Islam akan membuat pemeluknya bisa luwes menghadapi perbedaan, tanpa harus kehilangan jatidiri keagamaannya. Sebaliknya, kaku mengaitkan Islam dengan budaya Arab malah menghasilkan “Wahabi KW” – orang yang ke-Arab-annya melampaui orang Arab sendiri, lantas suka menghakimi dan mengkafirkan sesama, termasuk sesama Islam.
Sepanjang diskusi, suasana hangat dan akrab terbangun. Kang Munif yang menjadi pemandu acara baku lempar seloroh dengan para tokoh yang duduk di depan, juga dengan hadirin. Riuh rendah tawa terus mewarnai ceramah dan perbincangan. Rasanya nyaman sekali ternyata ketika semua orang bisa membicarakan agama dengan melampaui sekat-sekat agama, bisa membahas perbedaan sudut pandang dengan santai, bisa menertawakan keanehan perilaku para pemeluk agamanya sendiri tanpa kehilangan rasa yakinnya pada agama yang dipegang itu.
댓글