Nonton & Diskusi Seru Soal Baduy
- Admin-01
- Jun 24, 2016
- 3 min read

Bertempat di bioskop mini Pusat Informasi Publik Balaikota Semarang, sekitar lima puluh orang nonton bareng “Baduy”. Film berdurasi 27 menit ini karya dua videografer keren, Dandhy Laksono dan Suparta ARZ, sebagai rekaman perjalanan mereka keliling Indonesia, yang mereka namai Ekspedisi Indonesia Biru.
Usai film, peserta saling berbagi adegan atau bagian yang paling berkesan bagi mereka:
“Paling berkesan pada adegan percakapan malam-malam tentang kaki orang Baduy yang telapaknya sangat tebal karena selalu berjalan kaki, sampai paku saja mental ...”
“Saya terkesan pada orang Baduy yang tidak mau disuruh pemerintah dua kali panen dalam setahun karena takut hidup mereka akan habis untuk bekerja saja, beda sekali dengan cara pikir kita di kota ...”
“Saya terharu melihat Komong menyanyikan Indonesia Raya dengan lirik ‘Indonesia mencari madu’, itulah ungkapan kemurnian hati seorang anak ...”
“Saya paling terkesan pada pepatah Baduy hati-hati jadi orang pinter, karena pinter bisa bikin orang jadi keblinger, memakai kepintarannya untuk memperdaya orang lain ...”
“Yang menarik itu mendengar Mursid, anak tokoh adat Baduy Dalam, memutuskan pindah ke Baduy Luar karena ingin naik mobil dan bisa memasak gula merah ...”
“Sebagai orangtua, saya tertarik pada omongan Sapri, anaknya tidak perlu sekolah, asal bisa hidup mandiri, cari makan sendiri, menafkahi keluarganya ...”
Dari sharing tersebut, didapati satu poin yang sangat menarik, betapa urang Kanekes – sebutan orang Baduy untuk diri mereka sendiri – sangat berhati-hati menjaga adat dan kelestarian alam: hanya boleh memanen padi sekali setahun, tidak boleh menjual beras, waktu menanam tidak boleh pakai pupuk, tidak boleh pakai alat tani modern, anak-anak tidak boleh sekolah, tidak boleh pakai gadget, tidak boleh naik kendaraan bermesin, dan seterusnya. Siapa yang ingin lepas dari adat, harus meninggalkan Baduy Dalam, pindah ke Baduy Luar.
Namun, godaan teknologi modern rupanya sulit dihindari, terutama bagi anak-anak muda. Seorang putra tokoh adat Baduy Dalam sampai-sampai memutuskan untuk pindah ke Baduy Luar karena dia ingin bisa naik mobil. Ini membangkitkan pertanyaan kunci: “Bagaimana suatu kelompok bisa mempertahankan identitas dan adat istiadatnya tanpa mengungkung anggotanya untuk mempelajari dunia yang berbeda paham di luar mereka?”
Para peserta berdiskusi seru dalam tiga kelompok kecil membincangkan pertanyaan kunci itu. Tiga perwakilan lantas mempresentasikan rumusan masing-masing kelompok dalam forum besar. Beberapa poin yang berhasil disimpulkan antara lain:
Pertama, kita harus membingkai ulang (reframing) pemikiran. Keragaman jangan dianggap sebagai bahaya, tetapi sebagai sesuatu yang memperkaya. Ini akan membuat kita tidak takut dan tidak alergi terhadap perbedaan.
Kedua, pentingnya komunitas dan keluarga menanamkan nilai adat dan keyakinan pada anak-anak sedari dini. Anak perlu diajari bahwa tiap keluarga dan komunitas punya prinsip hidup sendiri-sendiri. Kita mesti teguh dengan prinsip kita, tapi tetap menghargai prinsip orang lain. Namun, menghargai prinsip orang lain yang berbeda tidak harus berarti kita setuju atau membenarkannya.
Ketiga, hargailah kebebasan tiap anak atau anggota kelompok kita untuk memilih, asal dia memutuskan secara sadar dan bertanggung jawab. Film “Baduy” ini menyiratkan ke-legawa-an tokoh adat Baduy Dalam ketika anaknya sendiri memilih pindah ke Baduy Luar. Sementara si anak yang memilih berbeda dari orangtuanya juga tidak lantas sama sekali mencampakkan relasi dan budaya asalnya.
Keempat, bisa menghargai keragaman itu butuh edukasi. Ke dalam, anggota kelompok perlu diedukasi tentang berharganya mempertahankan identitas. Ke luar, masyarakat umum di luar kelompok juga perlu dibuat paham tentang keunikan identitas kelompok. Seringkali prasangka dan diskriminasi muncul akibat kurangnya pemahaman tentang pihak yang jadi sasaran.
Benar-benar diskusi yang seru di pagi bulan puasa ini!
Comments