Pruitt-Igoe: Rasisme yang Meruntuhkan Impian Indah
- Admin-01
- Jun 16, 2016
- 3 min read

Kamis (16/6) malam, tim Ein ikut nonton bareng film dokumenter The Pruitt-Igoe Myth besutan sutradara Chad Freidrichs. Film produksi tahun 2011 ini diputar secara serial di berbagai kota oleh prakarsa Architecture Sans Frontieres Indonesia (ASF-ID), dan di Semarang didukung oleh Komunitas Arsitektur Semarang dan Peka Kota. Film berdurasi 79 menit ini mengisahkan tentang proyek perumahan rakyat di kota St. Louis Amerika Serikat yang dinamai Pruitt-Igoe. Tiap unit gedungnya menjulang megah, tinggi berlantai-lantai, menawarkan fasilitas yang tergolong mewah bagi kaum miskin. “Seperti mendapat hadiah Natal yang indah,” kenang salah satu mantan penghuninya. “Dulu kami berdua belas harus berbagi dua kamar dan ibuku harus tidur di dapur dengan kasur gulung,” timpal yang lain, “sekarang setiap anggota keluarga punya kasur sendiri.” Air ledeng, tempat pembakaran sampah, halaman bermain yang luas di luar gedung – Pruitt-Igoe benar-benar seperti hunian impian yang jadi kenyataan. Awalnya semua begitu menyenangkan. Namun lambat laun terjadi perubahan yang jauh dari bayangan. Jumlah penyewa terus menurun, pengelola rusun kehabisan dana, gedung pun makin tak terpelihara. Talang bocor, sampah berserakan, lift macet dan berbau pesing, lampu-lampu dan kaca jendela pecah. Penjahat juga buron polisi keluar masuk ke unit-unit yang tak lagi berpenghuni. Narkoba dan senjata berseliweran di sana-sini. Anak-anak membentuk gang, saling mem-bully, saling menghabisi. Dua dekade kemudian, pemerintah tak tahan lagi, dan kompleks Pruitt-Igoe pun diruntuhkan. Gambar dan video peledakan gedung-gedung di lahan kota St. Louis seluas 23 hektar itu menjadi nostalgi yang pahit bagi sejarah arsitektur Amerika. “Matinya arsitektur modern”, seloroh Charles Jencks tentang Pruitt-Igoe, yang menjelma menjadi mitos. Benarkah konsep arsitekturnya yang salah? Atau ada alasan-alasan lain di balik gagalnya proyek perumahan rakyat akbar ini? Akar masalah menjadi lebih terang setelah menonton film ini sampai usai. “Desain arsitektur hanya menyumbangkan sedikit saja dalam kegagalan Pruitt-Igoe,” komentar Tjahjono Rahardjo, salah satu penanggap yang juga pemerhati perkotaan. Pangkal masalahnya lebih ke situasi ekonomi-sosial-budaya-politik dan perubahan kota itu sendiri dalam situasi pasca perang. “Dari empat faktor arsitektur – function, form, economy, time – Pruitt-Igoe tidak memenuhi terutama faktor time,” kata Rudyanto Soesilo, dosen Unika Soegijapranata Semarang. Tim Ein sendiri terkesima pada praktik rasisme yang begitu mencolok tampil di sepanjang film. Jurang kekayaan antara warga kulit hitam dan kulit putih begitu lebar. Pruitt-Igoe yang semula diniatkan untuk jadi wadah pembauran gagal total! Warga kulit putih memilih pindah jauh ke luar kota, mendirikan rumah di sana, agar bisa hidup bersama sesama kulit putih lainnya. “Saya sengaja pindah ke sini untuk menghindari kulit hitam,” blak-blakan dua ibu kulit putih bicara. Itu sebabnya mereka tidak mau ada orang kulit hitam di lingkungan perumahan mereka. Pruitt-Igoe akhirnya eksklusif ditempati oleh warga kulit hitam miskin. Pemerintah pun berpihak. Ada kesan keinginan para politisi kulit putih untuk mengisolasi warga kulit hitam agar huniannya terpusat di satu tempat. Pruitt-Igoe menjadi semacam ghetto. Dan ketika kota St. Louis makin ditinggalkan warga kulit putih kayanya, makin miskinlah warga kulit hitam. Pekerjaan susah dicari, kriminalitas meningkat. Yang sangat menyedihkan, negara tidak hadir untuk memperbaiki situasi ini. Penghuni Pruitt-Igoe membenci polisi karena mereka merasa dikekang. Polisi pun enggan melindungi warga Pruitt-Igoe. Alhasil, sejak kecil anak-anak kulit hitam di Pruitt-Igoe harus belajar hidup keras. Ibu-ibu menyuruh anaknya berkelahi agar tidak dianggap lemah. Kematian tragis bisa menimpa anggota keluarga sewaktu-waktu. Trauma batin ditorehkan terus-menerus ke dalam jiwa-jiwa yang semula polos. “Saya tidak tahu apakah saya akan menjadi pribadi yang berbeda seandainya saya tidak pindah ke Pruitt-Igoe,” ucap seorang mantan penghuni yang batinnya terguncang hebat ketika kakaknya ditembak saat ia berumur 9 tahun. “Saya tidak tahu apakah saya bisa menjadi seperti sekarang seandainya dulu saya pindah ke Pruitt-Igoe,” kata seorang perempuan kulit hitam lain yang sukses dalam karirnya, yang keluarganya dulu ‘lolos’ dari kebijakan harus pindah ke rusun itu. Persoalan rasisme struktural ini tidak terbahas banyak pada diskusi santai di ruang pertemuan Jalan Stonen malam itu. Audiens yang kebanyakan berlatar belakang arsitek lebih ramai membincangkan pembangunan partisipatoris, arsitektur bagi kaum miskin, kebijakan kepala-kepala daerah, dan perlunya arsitektur bekerjasama dengan disiplin-disiplin ilmu lain. The Pruitt-Igoe Myth memang membawa pesan itu. Seperti dibilang Catharine Bristol, masalah perumahan tak bisa dipandang hanya sebagai urusan desain bangunan saja. Pruitt-Igoe gagal akibat rasisme struktural yang jalin-menjalin dengan rumit dalam masyarakat Amerika. Ini menggarisbawahi pentingnya memahami problem politik-ekonomi dan konteks sosial masyarakat, dan mengantisipasinya, sebelum merancang dan mengeksekusi proyek pembangunan.
Kommentarer